Mencintai itu saling.
Maka ketika pada jalannya, salah satu dari pecandu cinta tlah berubah begitu jauh, berbeda. Masih perlukah di sebut cinta? Dan perlukan bersusah payah untuk mempertahankan? Sedangkan katanya "cinta bukan paksaan".
Maka begini saja.
Aku memang bukan peneliti cinta apalagi menjadi guru cinta.
Tapi aku pernah masuk ke dalam dunianya.
Membawaku pada waktu yang terasa lama, pada kesejukan tempat singgah yang selalu ingin ku tinggali, pada kehangatan dekap peluk juga manis kecupan bibirnya. Ku sebut itu bahagianya -cinta.
Aku juga pernah hilang arah ketika berdiri di masa sulit, dimana harus mempertahankan hubungan yang tlah berubah, tak seindah masa pertama.
Ku pikir cinta perlu perjuangan.
Maka tak salah jika aku memperjuangkan dia -yang dulu tak pernah membuatku menangis.
Kini?
Namanya juga perasaan, kadang terasa amat mencintainya, merasa ingin memiliki seutuhnya, juga jenuh seolah ingin mencari sesuatu yang lain.
Tapi yang ku tahu, cinta selalu menuntunnya kembali pada tempat ia menemukan bahagia. Yaitu, kamu.
Mungkin ada yang salah dari caraku mencintainya. Atau dari caraku membahagiakannya. Atau masih kurang ketulusanku meneduhkan dari lelah kehidupannya?
Aku tak bisa menyalahkan apapun dalam hal ini.
Semua kembali pada hati yang membuatnya nyaman untuk terus hidup di dalamnya.
Ketika yang dulu kau kenal begitu baik, begitu membuatmu menjadi seseorang yang terasa penting dalam kesehariannya, menjadi candu di setiap pagi dan malamnya, menjadi tempat teduh ketika kehidupan pribadinya terasa berat dirasa, bahkan ketika cinta untukmu menjadi semesta yang mengelilingi kehidupannya -kala itu. Sekarang seolah seperti dedaunan yang hijau dan perlahan mulai menguning lalu jatuh tertiup angin. Usang. Rapuh. Perlahan terurai menjadi butiran yang tak memiliki guna. Tapi daun tak pernah membenci angin.
Ketika aku mulai rapuh mencintaimu, habis di makan keegoisanmu, tak secuil pun pedulikan kesabaranku mengertikanmu, aku menyerah atas nama cinta. Atas nama kita yang dulu pernah bahagia.
Biarkan aku mengurai kesedihanku dengan cara pergi dari kehidupanmu. Aku lelah, Tuan.
Daun tak pernah membenci angin, begitupun dengan aku.
Aku tak akan pernah membencimu, sejahat apapun kau perlakukanku, sesakit apapun kau buat luka disini.
Maka, biarkan ku langkahkan diri meski berat.
Biar angin menuntunku pada jalan manapun, yang jelas bukan jalan kita hidup di masalalu.
Biar ku keringkan luka ini sendiri.
Aku pergi, Tuan.
Bersama air mata yang masih tertahan, jiwa yang perlahan merapuh, kaki yang semakin berat melangkah.
Satu pelajaran yang ku ambil.
Kepergian tak selalu tentang jenuh. Bisa jadi itu adalah cara untuk melupakan tangis dan menggantinya dengan pertemuan yang mampu membuatmu lebih bahagia.
Dan kepergian bukan berarti sudah tak cinta. Ia adalah cara terindah untuk memperbaiki luka sebelum semuanya benar-benar usang tak memiliki guna.
Tersenyumlah untuk apapun yang tlah pergi. Biarkan ia menikmatinya dengan cara sendiri.
Hapuslah air matamu, dan tersenyumlah. Kadang senyuman terindah datang setelah air mata penuh luka.
Dan tentang cinta, tak melulu soal selalu bersama.
Ketika yang dirasa pedih, maka cara yang di ambil adalah perlahan melupakan sosok yang membuatmu tlah jatuh, meski berat tetap cobalah.
Tuhan tak akan membiarkanmu jatuh terlalu dalam pada kekosongan yang sampai akhir tak memberimu kebahagiaan.
Selamat menikmati proses mencintai dengan caramu sendiri, asal tak membuatmu terlalu sakit untuk terus bertahan :)
mencintai dengan berani. mencintai juga sebaiknya jangan berlebihan. ketika cinta itu pergi.... ah pasti rasanya sulit dikatakan lagi apa rasanya :))
BalasHapus