Ada cerita di balik nama akun twitternya @Capungketjil loh. Juga tentang nama blognya ini. Cerita ini hanya pikiran luas semata. Silahkan dibaca tapi jangan di percayai, karna ini bukan Tuhan. hehehe
Jadi, suatu masa, pernah hidup seorang kakek tua di pelataran hutan rimba. Ia hidup seorang diri. Kesehariannya hanya meminta bantuan sang pemilik semesta untuk tetap terus menemaninya sampai akhir hayat. Hidupnya bergantung pada tubuh yang ia miliki, saat itu. Kaki yang membawanya berjalan menyusuri ruang yang curam, matanya yang menelaah tentang kegelapan di balik keindahan, telinganya yang tajam mampu mendengar segala peluh makhluk yang hidup disana, dan tangannya yang mahir menyulap dedaunan menjadi alas lukis. Ya, hobinya adalah melukis. Namun karna ia hidup seorang diri di hutan, dan tak memiliki bekal alat tulis apapun, ia hanya mengandalkan pada dedaunan berdiameter besar yang tumbuh melimpah di dalam hutan, dan ranting pohon yang yang mampu mengeluarkan cairan hitam sebagai tinta.
Jadi, suatu masa, pernah hidup seorang kakek tua di pelataran hutan rimba. Ia hidup seorang diri. Kesehariannya hanya meminta bantuan sang pemilik semesta untuk tetap terus menemaninya sampai akhir hayat. Hidupnya bergantung pada tubuh yang ia miliki, saat itu. Kaki yang membawanya berjalan menyusuri ruang yang curam, matanya yang menelaah tentang kegelapan di balik keindahan, telinganya yang tajam mampu mendengar segala peluh makhluk yang hidup disana, dan tangannya yang mahir menyulap dedaunan menjadi alas lukis. Ya, hobinya adalah melukis. Namun karna ia hidup seorang diri di hutan, dan tak memiliki bekal alat tulis apapun, ia hanya mengandalkan pada dedaunan berdiameter besar yang tumbuh melimpah di dalam hutan, dan ranting pohon yang yang mampu mengeluarkan cairan hitam sebagai tinta.
Pernah saat
matahari belum naik dari peraduan, ia terbangun. Kaki yang tiba-tiba membawanya
berjalan untuk terus melanjutkan perjalanannya. Gelapnya hutan masih mampu ia
telusuri dengan berbekal suara dan cahaya yang kerap kali muncul dari bilik langit.
Tangannya dengan cekatan menyingkirkan dedaunan lebat yang menghalangi
pandangannya. Ia masih menyusuri hutan dengan tenangnya, tanpa ada perasaan
takut sedikitpun.
Di tengah
perjalanan, kakek tua itu berhenti. Ia melihat satu cahaya yang bersinar cantik
terbang di depan tubuhnya. Dengan rasa penasaran, lalu ia bertanya “Hai cahaya.
Bernyawakah engkau?”. Namun cahaya itu tak menjawab pertanyaan sang Kakek. Ia
justru terus terbang pelan-pelan menjauh seolah memberi petunjuk jalan pada sang Kakek.
Karna rasa penasarannya yang masih meluap, Kakek itupun menurut dan mengikuti kemana cahaya itu terbang.
Tibalah mereka
di ujung jalan.
“Tebing? Kau
membawaku pada ujung hutan ini, Cahaya. Apa kau ingin menyuruhku lenyap dari sini?”
tanya Kakek dengan wajah kaget.
“Lihat aku
lebih dalam. Aku bernyawa, Kek. Aku adalah penunggu semesta saat bintang tak
mampu menunjukkan cahayanya pada manusia banyak.” Jelas cahaya itu yang mulai
mendekat pada tubuh sang Kakek.
“Sebenarnya
siapa kau? Apa maksudmu mengatakan itu padaku. Bagiku, tak ada yang lebih terang
selain bintang dan kawan-kawannya.” Jelas Kakek dengan nada ngotot.
“Duduklah
sejenak disini. Aku akan memberi tahumu tentang dunia yang tlah lelah.”
Jelasnya singkat. Lalu Kakek itu perlahan meredam rasa kesalnya dan mulai
mengikuti perkataan cahaya tersebut. Kakek pun duduk di sisi tebing bersandar
pada sebuah pohon besar yang daunnya sudah gugur.
“Aku adalah
kunang-kunang, Kek. Aku satu-satunya binatang yang memiliki sayap dan memiliki cahaya
sama seperti bintang. Aku menghampirimu karna ini amanat dari sang Pemilik Semesta. Kau
satu-satunya manusia yang berhati lembut. Kau hidup di hutan berpuluh-puluh
tahun dan merawatnya sampai saat ini. Sang Pemilik Semesta telah melihat kebaikanmu atas alam ini. Kau mengindahkan segala yang belum tampak indah...”
“Tak usah
banyak berbasa-basi. Aku hanya ingin tahu apa tujuanmu menuntunku kemari,
Kunang-kunang?” Sambar sang Kakek yang tampaknya mulai geram kembali.
“Baiklah jika
itu maumu. Sang Pemilik Semesta menyuruhmu untuk menghidupkan segala yang tiada. Agar
mereka mencipta kebaikan setelah engkau pergi dan ketika dunia menjadi sepi.”
Jelasnya singkat.
“Maksudmu? Aku
tidak mengerti apa yang kau katakan.” Balas Kakek mengerutkan dahinya dan
mencoba meredam kekesalan yang hampir menyelimuti pikirannya.
“Baiklah.
Penjelasan kedua. Ambil satu daun yang bisa mnenjadikannya sebagai alas
lukisanmu, dan ranting sebagai media tintanya. Lalu, gambarlah satu makhluk
yang menurutmu ia akan mengindahkan dunia ini. Cepat lakukan itu sebelum
matahari melenyapkan cahayaku!” Perintah Kunang-kunang. Dengan ekspresi wajah
yang masih terlihat aneh, sang Kakek akhirnya bangun dan berlari kecil menuju
sebuah pohon yang tidak jauh dari tebing. Dan di ambilnya satu daun yang lebar
dan beberapa ranting yang mampu mengeluarkan cairan seperti tinta.
Dalam hatinya
masih bertanya-tanya. Permainan apakah yang sedang ia lewati? Belum tertidur
lama, tiba-tiba kakinya berjalan tak tentu arah dan bertemu dengan binatang
aneh ini. Lalu di bawanya menuju ujung hutan dan sekarang tanpa penjelasan yang
detail, ia diminta untuk melukis makhluk yang tiada di tengah kegelapan
seperti ini. Hhhhhh..... Namun pikirannya kembali pada perintah sang
Kunang-kunang tadi. Pelan-pelan ia mulai memikirkan sesuatu. Meskipun ia tidak
tahu jelas apa tujuan dari semua ini, namun dalam hatinya berkata “Semua ini
adalah untuk kebaikan. Maka lakukan ini demi kebaikan”. Dan sang Kakek pun
mulai menggerakkan jemarinya yang sudang berkerut diatas daun yang lebar sambil
meniupkan pelan-pelan tinta yang masih basah.
Bersambung.....
Ditunggu beberapa hari setelah posting part I ya.
Jangan bosen bacanya dan jangan penasaran tentang alurnya :p
Bersambung.....
Ditunggu beberapa hari setelah posting part I ya.
Jangan bosen bacanya dan jangan penasaran tentang alurnya :p
wah jadi penasaran. bagus cerpennya.
BalasHapuspart dua nya cepetan dong mbak